Secara etimologis (bahasa), aqidah berakar dari kata ‘aqada
- ya’qidu –‘aqdan – ‘aqidatan. ‘aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan
kokoh. Setelah terbentuk menhadi ‘aqidah berarti keyakinan (Al Munawwir, 1984,
hal 1023). Relevansi antara arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah adalah keyakinan itu
tersimpul dengan kokoh didalam hati, bersifat mengikat dan mengandung
perjanjian.
Secara termologis (istilah) terdapat definisi (ta’rif)
antara lain :
Menurut Hasan Al-Banna dalam kitab Majmu’ah ar-Rasail:
اَلْعَقَائِدُ هِيَ
اْلاُمُوْرُ الَّتِيْ يَجِبُ أَنْ يُصَدِّقَ ِبهَا قَلْبُكَ وَتَطْمَئِنَّ
اَلَيْهَا نَفْسُكَ وَ تَكُوْنَ يَقِيْناً عِنْدَكَ لاَ يُمَازِجُهُ رَيْبٌ وَلاَ
يُخَالِطُهُ شَكُّ.
“Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa
perkara yang wajib di yakini kebenaranya oleh hati, mendatangkan ketentraman
jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan”.
Menurut Abu bakar Jabir al-Jazairy dalam kitab Aqidah
al-Mukmin:
اَلْعَقِيْدَةُ هِيَ
مَجْمُوْعَةٌ مِنْ قَضَايَا اْلحَقَّ اْلبَدَهِيَّةِ اْلمُسَلَّمَةِ بِاْلعَقْلِ
وَالَّسمْعِ وَاْلفِطْرَةِ يَعْقِدُ عَلَيْهَا اْلاِنْسَاُن قَلْبَهَا وَيُثْنِي
عَلَيْهَا صَدْرَهُ جَازِمًا بِصِحَّتِهَا قَاطِعًا بِوُجُوْدِهَا وَثُبُوْتِهَا
لاَ يُرَي خِلاَفُهَا أَنَّهُ يُصِحُّ اَنْ يَكُوْنَ أَبَداً.
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara
umum (aksioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu
dipatrikan di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaanya secara pasti
dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.
Untuk lebih memahami definisi diatas kita perlu mengemukakan
beberapa catatan tambahan sebagai berikut:
1. Ilmu terbagi dua:
Pertama adalah ilmu dharuri yaitu Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan
tidak memerlukan dalil. Misalnya apabila kita melihat tali di hadapan mata,
kita tidak memerlukan lagi dalil atau bukti bahwa benda itu ada.
Kedua adalah ilmu nazhari yaitu. Ilmu yang memerlukan dalil atau
pembuktian.
Misalnya ketiga sisi segitiga sama sisi mempunyai panjang yang sama, memerlukan
dalil bagi orang-orang yang belum mengetahui teori itu. Di antara ilmu nazhari
itu, ada hal-hal yang karena sudah sangat umum dan terkenal tidak memerlukan
lagi dalil. Misalnya kalau sebuah roti dipotong sepertiganya maka yang du
pertiganya tentu lebih banyak dari sepertiga, hal itu tentu sudah diketahui
oleh umum bahkan anak kecil sekalipun. Hal seperti ini disebut badihiyah. Jadi
badihiyah adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pemuktian, tetapi
karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak lagi
perlu pembuktian.
2. Setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk
mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk
menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang tidak. Tentang Tuhan,
musalnya, setiap manusia memiliki fitrah bertuhan, dengan indera dan akal dia
bisa membuktikan adanya Tuhan, tetapi hanya wahyulah yang menunjukkan kepadanya
siapa Tuhan yang sebenarnya.
3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. Sebelum
seseorang sampai ke tingkat yakin dia akan mengalami beberapa tahap.
Pertama: Syak. Yaitu sama kuat antara membenarkan sesuatu atau menolaknya.
Kedua: Zhan. Salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada dalil
yang menguatkannya.
Ketiga: Ghalabatu al-Zhan: cenderung labih menguatkan salah satu karena sudah
meyakini dalil kebenarannya. Keyakinan yang sudah sampai ke tingkat ilmu inilah
yang disebut dengan aqidah.
4. Aqidah harus mendatangkan ketentraman jiwa. Artinya lahirnya seseorang bisa
saja pura-pura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan
ketenangan jiwa, karena dia harus melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan
keyakinannya.
5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala
sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan
bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan.
6. Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat pemahaman
terhadap dalil. Misalnya:
- Seseorang akan meyakini adanya negara Sudan bila dia mendapat informasi
tentang Negara tersebut dari seseorang yang dikenal tidak pernah bohong.
- Keyakinan itu akan bertambah apabila dia mendapatkan informasi yang sama dari
beberapa orang lain, namun tidak tertutup kemungkinan dia akan meragukan
kebenaran informasi itu apabila ada syubhat (dalil-dalil yang menolak informasi
tersebut).
- Bila dia menyaksikan foto Sudan, bertambahlah keyakinannya, sehingga
kemungkinan untuk ragu semakin kecil.
- Apabila dia pergi menyaksikan sendiri negeri tersebut keyakinanya semakin
bertambah, dan segala keraguannya akan hilang, bahkan dia tidak mungkin ragu
lagi, serta tidak akan mengubah pendiriannya sekalipun semua orang menolaknya.
- Apabila dia jalan-jalan di negeri Sudan tersebut dan memperhatikan situasi
kondisinya bertambahlah pengalaman dan pengetahuanya tentang negeri yang
diyakininya itu.
Dalam pengertian lain aqidah berarti pemikiran menyeluruh tentang alam,
manusia, dan kehidupan, dan tentang apa-apa yang ada sebelum dan sesudah
kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dengan apa yang ada sebelum dan
sesudah kehidupan dunia.
Pemikiran menyeluruh inilah yang dapat menguraikan ‘uqdah al-kubra’
(permasalahan besar) pada diri manusia, yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan;
siapa yang menciptakan alam semesta dari ketiadaannya? Untuk apa semua itu
diciptakan? Dan ke mana semua itu akan kembali (berakhir)? (a)